Selasa, 25 Juni 2013

Tentang Penyesalan


"Ah, apa guna kukesalkan.
Menyesal tua tiada berguna.
Hanya menambah luka sukma."
(Ali Hasjmi)


Sesal begitu kurasa pada 3 hari terakhir ini. Seperti sebuah ungkapan yang sering terdengar di telingaku "penyesalan selalu datang belakangan, tak ada sesal di depan." Sesak di dada begitu terasa. Munculnya penyesalan ini begitu menambah runyam suasana dalam pikiranku. Pikiranku memang sering tak begitu fokus pada suatu hal.  Beragam hal semakin bercampuraduk. Seolah badanku tertimpa beban berlipat-lipat. 

Lelah badan memang tak begitu kurasakan. Namun apa yang ada dalam pikiran ini terasa benar beratnya. Entah tak tau pasti apakah wajah dan tatapan mataku menyiratkan pesan ini atau tidak. Aku sama sekali tak peduli tentang itu. Aku butuh solusi. Aku ingin satu demi satu masalah terurai. Aku ingin bergerak sekuat dayaku, sepenuh otakku mampu berpikir. Aku, aku, aku ingin segera melewati hari demi hari pekan ini.

Pada malam sebelum tidur, sesaat kucoba berpikir tentang masalah yang sedang kualami. Pada tenang sesaat itu kudapatkan satu jawaban. Mengapa sesalku terasa seperti ini? Jawab itu muncul tak lebih ada pada kebodohanku. Kebodohanku yang tak mampu membuat perbaikan pada penyesalanku di masa lalu. Jelas di masa lalu aku pernah menyesalkan suatu hal yang menimpaku. Namun itulah dia. Di lain waktu penyesalan itu terulang kembali. Penyesalan yang mengarahkan betapa aku rapuh dalam memikul beban. Satu hal yang menjadi pertanyaan bagiku sekarang, "pantaskah dirimu disebut seorang beriman?"

Pertanyaan itu perlahan kucoba untuk menjawabnya. Jawaban itu muncul menjadi kalimat tanya baru pada diriku. Apa iya imanku sudah benar? Jika aku mengadu pada-Nya hanya saat banyak masalah berduyun-duyun menghampiri. Jika aku lebih mengedepankan logika akalku yang tak lebih dari sepercik air di tengah lautan ilmu-Nya. Jika usahaku lebih kuandalkan dengan begitu seringnya aku lupa bahwa segala hal berada dalam genggaman-Nya. Begitu mudahnya nalar ini menerka sesuatu yang dipikir realistis adalah bisa diwujudkan oleh usahaku. Kalimat indah itu masih belum mengendap dan muncul dalam sikapku, "Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Alloh."








Rabu, 19 Juni 2013

Berpikir Sekolah Lagi

Berawal dari bulan Februari lalu, seorang teman (kakak kelas) waktu kuliah dulu mampir ke rumah. Seperti biasa, lama tak bertemu rasanya ada banyak hal ingin diperbincangkan. Menanya kabar teman lain, aktivitas saat ini dan berbagai hal menarik biasanya menjadi bahan obrolan. Sampai pada suatu topik dimana kami membicarakan soal kelanjutan studi.
Sekolah lagi? Awalnya tak begitu menjadi prioritas bagiku. Aku lebih berpikir tentang mengarungi dunia baru, dunia kerja. Dunia kerja, sampai hari ini aku masih saja mencoba menjajaki. Apakah bekerja sebagai pegawai negri atau karyawan swasta? Buatku semua belum pasti. 
Alhamdulillah sejak akhir tahun 2011 sampai sekarang ada beberapa pekerjaan yang sempat kujajaki. Bekerja di lingkungan instansi pemerintah dan swasta pernah. Meski tak kunjung "punya penghasilan tetap" namun kucoba untuk bisa "tetap berpenghasilan."
Kembali ke pembicaraan soal studi. Temanku menyampaikan bahwa saat ini ada penawaran beasiswa dari beberapa instansi. Beasiswa yang menurutku begitu menggiyurkan. Penawarannya berupa sekolah gratis, plus mendapat uang saku bulanan. Setelah kucari informasi lebih lanjut ternyata penawaran beasiswa itu untuk calon dosen. Alhasil aku tak melanjutkan proses pencarian beasiswa teresebut (beasiswa yang ditawarkan berasal dari Dikti). 
Selang beberapa waktu ada info beasiswa yang serupa tapi tak sama. Instansi pemberi beasiswa tersebut mempunyai suatu konsep yang menarik. Pada laman ini kutemukan semangat baru untuk mencoba mendaftarkan diri. Proses pendaftaran telah kulakukan secara online. Saat tiba waktu pengumuman ternyata tak kutemukan namaku tertulis di lembar pengumuman. Yah, inilah takdir yang aku berkeyakinan Alloh telah memberikan yang terbaik bagiku. 
Gagal dari pendaftaran beasiswa tersebut, masih tersisa sekeping harapan untukku. Melalui link ini aku berusaha untuk meraih citaku, melanjutkan studi. Adapun secuil alasanku melanjutkan sekolah lagi adalah ketika kuteringat pada sebuah artikel yang pernah kubagikan dalam sebuah grup facebook. Satu harapku ketika bisa melanjutkan studi, bahwa aku ingin belajar dengan niat, cara dan tujuan yang benar.

Sebuah Upaya Merekam Jejak

Lima tahun yang lalu blog ini kubuat. Selama itu pula tak terhitung banyaknya alasan, mengapa blog ini sunyi senyap. Tak ter-update, dan kubuka pun teramat jarang. Maka posting lama yang pernah kutulis di blog ini harus kuhapus. Terasa lucu benar membaca kembali tulisanku yang lalu. Ingin rasanya kutertawakan. Sekarang dan selanjutnya aku mencoba berusaha tuk merekam jejak langkahku dalam blog ini. Semoga dapat menjadi jalan untuk meraih keridhoan-Nya. 

Memaknai Sedih

Mata tampak sayu. Wajah meredup. Bergejolak rasa dalam dada. Tangis yang tak lagi bisa ditahan. Segenap rasa tumpah ruah. Itulah kiranya ungkapan hati yang tengah dilanda duka.
Sedih, kata ini mengingatkan kita pada berbagai hal tak diinginkan atau jauhnya jarak harapan dan kenyataan, ditambah rasa menyakitkan. Kehilangan suatu hal yang berharga, turut mengantarkan kita pada kesedihan.
Kita berharap jika datang rasa sedih, ia akan mengantar pada kebaikan. Utsman ra. berkata:
"Kesedihan dalam urusan dunia dapat menggelapkan hati. Kesedihan dalam urusan akhirat bisa menerangi hati."
Malu rasanya diri ini membaca dua pesan itu. Selama ini sedihku lebih menurut selera nafsu. Duka terasa kala tak mendapat cita yang sementara. Jauhnya jarak dengan surga, kadang tak dirasa. Sehingga sedih itu terasa perih, bak luka semakin menganga.
Sedihku, masih sering berdiam dalam kata dan amal nyata. Saat banyak orang berlomba dalam ketaatan, aku jauh ketinggalan. Saat aku menyusuri terjalnya jalanan, sedihku muncul dipermukaan.
Bukan sebab terbeloknya niat dan tujuan. Bukan pula sebab melangkah "pas-pasan." Betapa sering ia muncul sebab kebodohan. Kecewa dengan kawan, tak mendapat hasil yang diharapkan. Sedihku, memalukan dan memilukan. Sedihku sungguh menyedihkan.