Rabu, 18 Desember 2013

Musik dan Lirik

source: myscreen.com
Sudah beberapa kali saya berpikir tentang isi lirik lagu yang tampak ngetop di blantika musik Indonesia. Entah mengapa ketika saya coba mengutak-atik maknanya terasa aneh benar. Dalam keyakinan yang saya anut Islam, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai musik. Ada ulama yang berpendapat masih diperbolehkan, ada yang berpendapat bahwa hal itu dilarang. Maka haruslah kita benar-benar selektif jika hendak mendengar lagu bahkan menghafalnya.
Entah berapa banyak orang saat ini mau bersikap kritis terhadap beragam hal yang sedang digandrungi oleh anak muda. Salah satunya tentang musik. Tak bisa dipungkiri bahwa ketika kita membaca berbagai artikel tentang musik akan kita temukan beberapa jenis musik yang menebar ideology tertentu. Kita sebut salah satunya musik punk. Mendengar namanya asumsi kita akan terbawa pada suasana anak jalanan dengan rambut di buat jabrik ke atas. Mirip punuk onta. Aksesorisnya lengkap dari gelang, kalung, rantai dsb. Sampai dengan baju bertambal-tambalan dan kebanyakan tampak kumuh, entah mereka setiap hari mandi atau tidak. Dan punk ini sepertinya tak banyak orang mengenal, sebab mereka membawa ideology anti kemapanan, anti kapitalisme, dan musik komunitas. Beda dengan musik pop.
Kita mengenal musik pop sebagai music populer. Begitu sering diputar di radio dan nongol di TV, lagunya jadi trend. Baik itu orang dewasa, anak-anak bahkan orang tua begitu banyak dikenal. Ngetop tak berarti semua baik. Masih segar dalam ingatan kita seorang vokalis grup band dibui sebab video mesumnya beredar. Dia ngetop tapi apakah semacam itu baik? So? Bolehlah kiranya kita mengkritisi lagu-lagu yang disebut ngetop di sekitar kita.
apabila aku mati, ku kan berdoa pada Ilahi…..
Penggalan lirik tersebut rasanya tak begitu asing. Bahkan ia populer. Konon katanya beberapa orang personel grupnya pernah nyantri di Pondok Pesantren. Dianggaplah grup band ini religius. Namun asumsi kebanyakan orang tak sepenuhnya bisa disebut benar dan baik. Kita tak akan lupa bahwa grup tersebut pernah merilis lagu dengan lirik tak layak disiarkan. Berisi umpatan kasar yang ternyata bagi anak-anak hal tersebut tampak menarik. Pada akhirnya kata baji**an diganti menjadi cacingan. Aneh.

Senin, 16 Desember 2013

Gelora Muda (2)

Pagi ini mulai lagi saya membaca data Sensus penduduk 2010. Berdasarkan data tersebut tampak jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun. Jumlahnya lebih dari 41 juta jiwa (41.202.076). Luar biasa, jumlah tersebut adalah 15,19% dari jumlah total penduduk Indonesia. Dan jumlah pemuda muslim diantara jumlah tersebut adalah lebih dari 36 juta jiwa. Yah, pada dua kesempatan saya menuliskan tentang data penduduk ini, saya ingin terlebih dahulu menyorot soal jumlah pemuda Islam. Berawal dari jumlah kemudian baru berpikir tentang apa yang selanjutnya bisa diperbuat. Berawal dari jumlah tersebut akan tampak besarnya potensi pemuda Islam di negri kita.
Data sensus membawa saya untuk berpikir tentang berapa banyak jumlah sarjana muslim. Dari data itu saya dapatkan perkiraan persentasenya (jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun) sebesar 4,56%. Atau secara jumlah diperkirakan sekitar 1,6 juta jiwa. Yah, ternyata lebih dari 95% pemuda muslim kita (20-29 tahun) belum atau bahkan tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di tingkat S1. Sedangkan mereka yang telah mendapat kesempatan tersebut ada pertanyaan yang saya ingin tahu jawabnya. Seberapa banyak sarjana muslim yang punya kepedulian atas nasib sesamanya?
Hari ini masih dapat kita temukan betapa diantara sarjana muslim tersbut masih banyak berkeluh kesah tentang nasibnya (boleh jadi saya termasuk satu diantaranya). Berkeluh tentang hari-hari yang besok akan dijalani. Berkeluh tentang profesi. Berkeluh tentang hal-hal lain yang hanya mungkin terjadi. Dan betapa sulit kita dapati mereka (sarjana muslim) yang telah tahu bagaimana menyiapkan kehidupan yang sudah pasti. Kepada-Nya kita akan kembali. Ungkapan itu semoga bukan terucap saat keputus asaan datang mendekat. Bahwa sarjana punya cara pandang berbeda. Terlebih sarjana muslim.

Sambil menuliskan tulisan ini saya pun harus banyak merenungkan. Tentang berbagai hal yang belum terjadi esok hari. Tentang kenyataan yang hari ini, saya juga anda yang masing-masing kita hadapi. Kadang kita bertemu pada satu titik manusiawi, yang sama-sama ingin kita penuhi. Namun sisi lain pada pikiran saya juga membisik tak teratur bahwa tanggung jawab terhadap umat harus terus melekat. Jangan egois. Jangan salahkan mereka yang apatis. Jangan pula pesimis. Bersama pekat malam, masih ada lilin-lilin kecil menyala. Para sarjana muslim harus mampu memberikan kontribusi nyata, bagi umat yang tak berkesempatan seperti dirinya.      

Rabu, 04 Desember 2013

Gelora Muda (1)

Masih teringat benar dalam benak kita betapa heroik kisah perjuangan pemuda di zaman menjelang kemerdekaan. Dan tentu kita masih ingat betapa lantang Bung Karno berucap “Berikan aku sepuluh pemuda akan aku guncangkan dunia.” Derap langkah para pemuda patahkan segala keputus asaan yang menghadang di tengah jalan. Dahulu segala kekuatan berhimpun menjadi satu saat di hadapan kita tampak jelas penjajahan itu menindas hak hidup segenap warga bangsa ini. Namun sekarang adakah semangat itu masih melekat di hati 35 juta lebih para pemuda islam (berumur 15-24 tahun)?
Sekali lagi kita yakini bahwa bangsa ini masih memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, persentase jumlah pemuda Islam terhadap jumlah penduduk total di Indonesia sebesar 14,90% (dengan jumlahnya sebesar 35.403.681 jiwa). Angka ini mendekati seperlima jumlah penduduk di bangsa ini. Pada link ini dapat kita lihat bahwa jumlah tersebut masih lebih besar dari pada total jumlah penduduk di Negara Kanada, Sudan, Maroko, Iraq, Afganistan yang jumlahnya berkisar antara 30-30,5 juta jiwa. Maka sungguh betapa besar aset bangsa ini. Sehingga patutkah ia dibiarkan begitu saja?
Pada akhir Juli 2013, sebagaimana dilansir oleh inilah.com jumlah masjid di Indonesia sebanyak 239.497 bangunan. Maka perbandingan jumlah masjid dengan jumlah pemuda Islam (15-24 tahun) di Indonesia sebesar 1:148. Artinya secara rata-rata 1 masjid menampung hampir 150 pemuda Islam. bukankah ini potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembangnya pemuda Islam yang memakmurkan masjid? Lalu faktanya bagaimana? Berapakah jumlah masjid yang memiliki organisasi remaja/pemuda masjid? Berapa rata-rata jumlah personil aktifnya? Berapa pula yang sungguh-sungguh aktif dalam memakmurkan masjidnya?

source: bbc.co.uk
Ah rasanya masih ada banyak pertanyaan yang ingin saya sampaikan. Namun tidak baik juga kiranya saya khususnya terlalu banyak beretorika. Hari ini dan selanjutnya ungkapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ditunggu-tunggu kiprahnya bagi umat Islam di seluruh dunia, bukanlah isapan jempol belaka. Masalahnya layakkah diri ini untuk bergabung dalam barisan gelombang kebangkitan itu? Mari kita jawab!

Senin, 02 Desember 2013

Mengapa TPA?


Tidak bisa dipugkiri bahwa setiap orang pasti punya kesan dimasa kecilnya. Entah sedikit atau banyak, pasti ada hal yang begitu berkesan. Kesan masa kecil ini boleh jadi akan terus membekas di kemudian hari. Maka sungguh menarik ungkapan “belajar di waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua, bagaikan mengukir di atas air.”

Berdasarkan sensus penduduk 2010 penduduk Indonesia berumur 5-14 Tahun jumlahnya hampir mencapai 46 juta jiwa (45.924.561). Dari jumlah tersebut terdapat 86,33% yang beragama Islam. Jika dihitung persentasenya dari jumlah total penduduk Indonesia maka terdapat 16,68% penduduk berumur 5-14 tahun yang beragama Islam. Apa artinya?

Dipandang dengan penuh rasa optimis angka tersebut menunjukkan bahwa aset kebangkitan umat bagi bangsa ini begitu besar. Mari kita bayangkan bahwa dari jumlah yang hampir 40 juta jiwa itu (penduduk berumur 5-14 tahun beragama islam) ada 1% saja yang benar-benar menjadi muslim yang tangguh. Lurus aqidahnya, benar ibadahnya, baik akhlaknya dan berguna bagi sesama manusia. 

Boleh jadi aka nada orang berkata “mimpi kali ya?” Ya! Bukankah semua bermula dari mimpi? Kemudian kerja keras kita jalani beriring dengan doa dan tawakal kita kepada-Nya. Kemudian apa jalan terjal yang ditempuh ini tak lebih dari upaya menyambut janji-Nya “nashrumminallohi wa fathun qariib…” Maka adakah kita mau ikut mengambil kesempatan ini?

Anak-anak merindukan sosok yang bisa dijadikan sebagai teladan. Di samping pengaruh yang besar dari lingkungan keluarga tempat dimana segala nilai ditanam pertama. Lingkungan sekitar tentu memiliki peran yang cukup berarti. Di desa-desa sampai di berbagai penjuru kota, mari kita lihat kenyataannya. Seberapa banyak masjid yang dimakmurkan dengan kegiatan bagi para pemuda, juga anak-anak yang mulai beranjak dewasa? Atau masjid hanya terisi oleh orang tua saja, itupun terbatas pada jam sholat 5 waktu. Dan jumlahnya adakah sebagian besar selalu terisi satu shaf penuh? 
Pertanyaan itu semoga menjadi awalan bagi kita untuk mulai berpikir untuk lebih banyak berbuat. Saat ini bangsa Indonesia masih tetap dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Aset kita begitu besar. Relakah kita ia tersisih begitu saja, teronggok di pojok sejarah sebagai sampah zaman?