Rabu, 18 Desember 2013

Musik dan Lirik

source: myscreen.com
Sudah beberapa kali saya berpikir tentang isi lirik lagu yang tampak ngetop di blantika musik Indonesia. Entah mengapa ketika saya coba mengutak-atik maknanya terasa aneh benar. Dalam keyakinan yang saya anut Islam, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai musik. Ada ulama yang berpendapat masih diperbolehkan, ada yang berpendapat bahwa hal itu dilarang. Maka haruslah kita benar-benar selektif jika hendak mendengar lagu bahkan menghafalnya.
Entah berapa banyak orang saat ini mau bersikap kritis terhadap beragam hal yang sedang digandrungi oleh anak muda. Salah satunya tentang musik. Tak bisa dipungkiri bahwa ketika kita membaca berbagai artikel tentang musik akan kita temukan beberapa jenis musik yang menebar ideology tertentu. Kita sebut salah satunya musik punk. Mendengar namanya asumsi kita akan terbawa pada suasana anak jalanan dengan rambut di buat jabrik ke atas. Mirip punuk onta. Aksesorisnya lengkap dari gelang, kalung, rantai dsb. Sampai dengan baju bertambal-tambalan dan kebanyakan tampak kumuh, entah mereka setiap hari mandi atau tidak. Dan punk ini sepertinya tak banyak orang mengenal, sebab mereka membawa ideology anti kemapanan, anti kapitalisme, dan musik komunitas. Beda dengan musik pop.
Kita mengenal musik pop sebagai music populer. Begitu sering diputar di radio dan nongol di TV, lagunya jadi trend. Baik itu orang dewasa, anak-anak bahkan orang tua begitu banyak dikenal. Ngetop tak berarti semua baik. Masih segar dalam ingatan kita seorang vokalis grup band dibui sebab video mesumnya beredar. Dia ngetop tapi apakah semacam itu baik? So? Bolehlah kiranya kita mengkritisi lagu-lagu yang disebut ngetop di sekitar kita.
apabila aku mati, ku kan berdoa pada Ilahi…..
Penggalan lirik tersebut rasanya tak begitu asing. Bahkan ia populer. Konon katanya beberapa orang personel grupnya pernah nyantri di Pondok Pesantren. Dianggaplah grup band ini religius. Namun asumsi kebanyakan orang tak sepenuhnya bisa disebut benar dan baik. Kita tak akan lupa bahwa grup tersebut pernah merilis lagu dengan lirik tak layak disiarkan. Berisi umpatan kasar yang ternyata bagi anak-anak hal tersebut tampak menarik. Pada akhirnya kata baji**an diganti menjadi cacingan. Aneh.

Senin, 16 Desember 2013

Gelora Muda (2)

Pagi ini mulai lagi saya membaca data Sensus penduduk 2010. Berdasarkan data tersebut tampak jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun. Jumlahnya lebih dari 41 juta jiwa (41.202.076). Luar biasa, jumlah tersebut adalah 15,19% dari jumlah total penduduk Indonesia. Dan jumlah pemuda muslim diantara jumlah tersebut adalah lebih dari 36 juta jiwa. Yah, pada dua kesempatan saya menuliskan tentang data penduduk ini, saya ingin terlebih dahulu menyorot soal jumlah pemuda Islam. Berawal dari jumlah kemudian baru berpikir tentang apa yang selanjutnya bisa diperbuat. Berawal dari jumlah tersebut akan tampak besarnya potensi pemuda Islam di negri kita.
Data sensus membawa saya untuk berpikir tentang berapa banyak jumlah sarjana muslim. Dari data itu saya dapatkan perkiraan persentasenya (jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun) sebesar 4,56%. Atau secara jumlah diperkirakan sekitar 1,6 juta jiwa. Yah, ternyata lebih dari 95% pemuda muslim kita (20-29 tahun) belum atau bahkan tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di tingkat S1. Sedangkan mereka yang telah mendapat kesempatan tersebut ada pertanyaan yang saya ingin tahu jawabnya. Seberapa banyak sarjana muslim yang punya kepedulian atas nasib sesamanya?
Hari ini masih dapat kita temukan betapa diantara sarjana muslim tersbut masih banyak berkeluh kesah tentang nasibnya (boleh jadi saya termasuk satu diantaranya). Berkeluh tentang hari-hari yang besok akan dijalani. Berkeluh tentang profesi. Berkeluh tentang hal-hal lain yang hanya mungkin terjadi. Dan betapa sulit kita dapati mereka (sarjana muslim) yang telah tahu bagaimana menyiapkan kehidupan yang sudah pasti. Kepada-Nya kita akan kembali. Ungkapan itu semoga bukan terucap saat keputus asaan datang mendekat. Bahwa sarjana punya cara pandang berbeda. Terlebih sarjana muslim.

Sambil menuliskan tulisan ini saya pun harus banyak merenungkan. Tentang berbagai hal yang belum terjadi esok hari. Tentang kenyataan yang hari ini, saya juga anda yang masing-masing kita hadapi. Kadang kita bertemu pada satu titik manusiawi, yang sama-sama ingin kita penuhi. Namun sisi lain pada pikiran saya juga membisik tak teratur bahwa tanggung jawab terhadap umat harus terus melekat. Jangan egois. Jangan salahkan mereka yang apatis. Jangan pula pesimis. Bersama pekat malam, masih ada lilin-lilin kecil menyala. Para sarjana muslim harus mampu memberikan kontribusi nyata, bagi umat yang tak berkesempatan seperti dirinya.      

Rabu, 04 Desember 2013

Gelora Muda (1)

Masih teringat benar dalam benak kita betapa heroik kisah perjuangan pemuda di zaman menjelang kemerdekaan. Dan tentu kita masih ingat betapa lantang Bung Karno berucap “Berikan aku sepuluh pemuda akan aku guncangkan dunia.” Derap langkah para pemuda patahkan segala keputus asaan yang menghadang di tengah jalan. Dahulu segala kekuatan berhimpun menjadi satu saat di hadapan kita tampak jelas penjajahan itu menindas hak hidup segenap warga bangsa ini. Namun sekarang adakah semangat itu masih melekat di hati 35 juta lebih para pemuda islam (berumur 15-24 tahun)?
Sekali lagi kita yakini bahwa bangsa ini masih memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, persentase jumlah pemuda Islam terhadap jumlah penduduk total di Indonesia sebesar 14,90% (dengan jumlahnya sebesar 35.403.681 jiwa). Angka ini mendekati seperlima jumlah penduduk di bangsa ini. Pada link ini dapat kita lihat bahwa jumlah tersebut masih lebih besar dari pada total jumlah penduduk di Negara Kanada, Sudan, Maroko, Iraq, Afganistan yang jumlahnya berkisar antara 30-30,5 juta jiwa. Maka sungguh betapa besar aset bangsa ini. Sehingga patutkah ia dibiarkan begitu saja?
Pada akhir Juli 2013, sebagaimana dilansir oleh inilah.com jumlah masjid di Indonesia sebanyak 239.497 bangunan. Maka perbandingan jumlah masjid dengan jumlah pemuda Islam (15-24 tahun) di Indonesia sebesar 1:148. Artinya secara rata-rata 1 masjid menampung hampir 150 pemuda Islam. bukankah ini potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembangnya pemuda Islam yang memakmurkan masjid? Lalu faktanya bagaimana? Berapakah jumlah masjid yang memiliki organisasi remaja/pemuda masjid? Berapa rata-rata jumlah personil aktifnya? Berapa pula yang sungguh-sungguh aktif dalam memakmurkan masjidnya?

source: bbc.co.uk
Ah rasanya masih ada banyak pertanyaan yang ingin saya sampaikan. Namun tidak baik juga kiranya saya khususnya terlalu banyak beretorika. Hari ini dan selanjutnya ungkapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ditunggu-tunggu kiprahnya bagi umat Islam di seluruh dunia, bukanlah isapan jempol belaka. Masalahnya layakkah diri ini untuk bergabung dalam barisan gelombang kebangkitan itu? Mari kita jawab!

Senin, 02 Desember 2013

Mengapa TPA?


Tidak bisa dipugkiri bahwa setiap orang pasti punya kesan dimasa kecilnya. Entah sedikit atau banyak, pasti ada hal yang begitu berkesan. Kesan masa kecil ini boleh jadi akan terus membekas di kemudian hari. Maka sungguh menarik ungkapan “belajar di waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua, bagaikan mengukir di atas air.”

Berdasarkan sensus penduduk 2010 penduduk Indonesia berumur 5-14 Tahun jumlahnya hampir mencapai 46 juta jiwa (45.924.561). Dari jumlah tersebut terdapat 86,33% yang beragama Islam. Jika dihitung persentasenya dari jumlah total penduduk Indonesia maka terdapat 16,68% penduduk berumur 5-14 tahun yang beragama Islam. Apa artinya?

Dipandang dengan penuh rasa optimis angka tersebut menunjukkan bahwa aset kebangkitan umat bagi bangsa ini begitu besar. Mari kita bayangkan bahwa dari jumlah yang hampir 40 juta jiwa itu (penduduk berumur 5-14 tahun beragama islam) ada 1% saja yang benar-benar menjadi muslim yang tangguh. Lurus aqidahnya, benar ibadahnya, baik akhlaknya dan berguna bagi sesama manusia. 

Boleh jadi aka nada orang berkata “mimpi kali ya?” Ya! Bukankah semua bermula dari mimpi? Kemudian kerja keras kita jalani beriring dengan doa dan tawakal kita kepada-Nya. Kemudian apa jalan terjal yang ditempuh ini tak lebih dari upaya menyambut janji-Nya “nashrumminallohi wa fathun qariib…” Maka adakah kita mau ikut mengambil kesempatan ini?

Anak-anak merindukan sosok yang bisa dijadikan sebagai teladan. Di samping pengaruh yang besar dari lingkungan keluarga tempat dimana segala nilai ditanam pertama. Lingkungan sekitar tentu memiliki peran yang cukup berarti. Di desa-desa sampai di berbagai penjuru kota, mari kita lihat kenyataannya. Seberapa banyak masjid yang dimakmurkan dengan kegiatan bagi para pemuda, juga anak-anak yang mulai beranjak dewasa? Atau masjid hanya terisi oleh orang tua saja, itupun terbatas pada jam sholat 5 waktu. Dan jumlahnya adakah sebagian besar selalu terisi satu shaf penuh? 
Pertanyaan itu semoga menjadi awalan bagi kita untuk mulai berpikir untuk lebih banyak berbuat. Saat ini bangsa Indonesia masih tetap dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Aset kita begitu besar. Relakah kita ia tersisih begitu saja, teronggok di pojok sejarah sebagai sampah zaman?

Rabu, 20 November 2013

Air Hak kita semua

Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Beribu pulau di sela birunya laut begitu luasnya. Maka tak perlu ditanyakan lah soal kekayaan alamnya. Berlimpah ruah, di atas permukaan tanah maupun yang terpendam di dalamnya, juga sumberdaya baharinya. Kondisi ini membawa kita pada satu asusmsi bahwa semestinya sebagian besar penduduk bangsa ini akan dapat hidup secara layak, sehat dan sejahtera lahir batinnya. 

Kekayaan alam bangsa ini telah diatur pengelolaannya. Bahwa ia dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyatnya. Bukan kah aturan ini dapat dikatakan adil. Bahwa kekayaan alam ini telah dijamin pengelolaannya oleh Negara? Sehingga hal ini diharapkan dapat menutup pintu penguasaan kekayaan alam oleh individu maupun sekelompok tertentu. Artinya bahwa pemanfaatan kekayaan alam tetaplah mengutamakan kemakmuran rakyat.

source: pustaka.pu.go.id
Salah satu kekayaan alam yang menjamin kelangsungan hidup manusia adalah air. Tentu bukan sembarang air. Air bersih yang sehat dan menyehatkan. Setiap individu bangsa ini tentu memiliki hak untuk mendapatkannya. Bahkan pada salah satu mata pelajaran di sekolah pun air dianggap sebagai benda non-ekonomis. Untuk mendapatkannya tak perlu membayar. Namun mari kita lihat kenyataan hari ini. Bernarkah demikian? 

Saat ini tak jarang kita dengar berita bahwa beberapa daerah mengalami kesulitan akses air bersih di musim kemarau. Atau di layar kaca juga sering kali kita melihat tayangan yang menampilkan lokasi permukiman kumuh. Bagaimana akses air di sana? Layakkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Atau jangan-jangan untuk diminum saja pun tidak cukup? 

Mengenai akses terhadap air bersih ini kita patut prihatin, sebab ia menjadi salah satu masalah bagi bangsa ini. Berdasarkan Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Di Indonesia 2011 di sebutkan bahwa rumah tangga yang mampu mengakses air minum layak secara berkelanjutan sebesar 42,76%. Di daerah perkotaan persentasenya sebesar 40,52% dan di perdesaan 44,96%. Secara umum dapat dikatakan bahwa lebih dari 50% penduduk kita tidak terpenuhi kebutuhan air minum yang layak secara berkelanjutan. 

Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan persentasenya sebesar 49,79%. Sisanya 50,21% penduduk Indonesia tinggal di daerah perdesaan. Pada tahun tersebut jumlah penduduk kita sebesar 237 641 326 jiwa. Maka dapat kita bayangkan berapa ratus juta penduduk mengalami keterbatasan akses terhadap air minum yang layak? Lebih dari 120 juta. Jumlah tersebut masih lebih besar jika dibandingkan dengan gabungan jumlah penduduk dari beberapa Negara di Asia Tenggara seperti Myanmar, Malaysia, Kamboja, Laos, Singapura, Timor Leste, dan Brunei. Jumlah tersebut juga tercatat kurang lebih 2 kali jumlah penduduk Thailand dan 1,5 kali jumlah penduduk Filipina dan Vietnam.*

Kondisi ini perlu menjadi perhatian kita bersama. Saat musim kemarau tak sedikit daerah di Indonesia ini kekurangan air. Sedang sat musim hujan tiba, berapa banyak daerah yang tergenang banjir. Air yang menjadi penyambung hidup seluruh makhluk hidup di bumi ini harus kita jaga kelestariannya. Mari bersama kita cegah pemborosan air bersih yang layak guna dengan penggunaan yang tepat dan bijak.

Selasa, 08 Oktober 2013

Sisi Lain Peringatan (Sebuah Pertanyaan)



Perjalanan pulang pergi ke Jakarta beberapa hari yang lalu, membuat saya ingin menuliskan kerisauan ini. Pertama, saya cukup percaya bahwa pemerintah kita telah berusaha sebaik mungkin dalam memberikan pelayanan publik, salah satunya di bidang transportasi umum. Senang rasanya bisa menumpang di kereta jogja-jakarta dengan nyaman. Tanpa asap rokok dan dengan nyala AC yang tak begitu dingin. Jadilah perjalanan ini begitu menyenangkan buat saya.
Saat tiada rasa kantuk sesekali mata ini menengok ke luar jendela. Pemandangannya beraneka ragam. Bagunan khas daerah perkotaan, suasana perdesaan, juga bentangan sawah di sekitar perbukitan/pegunungan yang hijau. Sejuk dipandang mata. Suasananya sungguh nyaman dirasa.
Saat melihat ke arah pintu depan di gerbong secercah harap muncul dalam benak saya. Ada tulisan menarik untuk dibaca yakni “apabila penumpang bersikeras merokok akan diturunkan dimana kereta berhenti.” Wuaah hebat ini. Dalam hati begitu saya bergumam. Hal semacam ini saya anggap sebuah upaya pemerintah untuk memberikan pelyanan terbaik bagi warganya. Sebuah peringatan yang harus diperhatikan oleh para perokok dan perlu mendapat dukungan dari bukan perokok. Peringatan semacam ini tentu diharapkan dapat memberikan efek jera jika benar-benar ada yang melanggarnya.
Tulisan itu saya dapati baik pada keberangkatan maupun pada perjalanan pulang ke Jogja. Di perjalanan pulang ini barulah muncul rasa skeptis pada diri saya tentang peringatan yang terpajang di dalam gerbong itu.  Ah peringatan ini punya lebih dari satu makna.  Ternyata peringatan ini benar adanya memang melarang keras para penumpang merokok di dalam kereta. Ya hanya di dalam kereta! Diperjalanan anda masih bisa merokok. Nanti ada waktunya. Begitulah saya coba memaknainya.
Beberapa kali saya lihat para perokok itu dengan bebasnya merokok saat kereta berhenti di beberapa stasiun. Tentu mereka yang saya lihat itu adalah penumpang kereta segerbong dengan saya. Pertanyaan saya, kenapa mereka tidak ditinggal saja? Toh jika keperluan kereta itu hanya berhenti untuk menurunkan/menaikkan penumpang saja, saya pikir tidak akan menghabiskan waktu sebagaimana menghisap habis sebatang rokok kan?
source: rfclipart.com
Kenyataan ini memunculkan sebuah persepsi bahwa seperti apapun aturan itu dibuat, jangan ada pihak yang terpinggirkan. Pelayanan untuk semua, perlu memperhatikan individu, entitas, maupun komunitas di masyarakat. Termasuk dalam larangan merokok di gerbong kereta. Bagi saya Nampak sekali bahwa para perokok itu tetap bisa merokok selama di perjalanan. Tentu tidak di dalam kereta. Ada waktu dan tempat yang tersedia. Terakhir pertanyaan saya, apakah tidak merokok sehari saja dapat mengancam keselamatan jiwa?

Kamis, 26 September 2013

Apa Makna Umur Bertambah?

Dua hari yang lalu, duka berselimut di sebuah rumah yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Seorang bapak berumur setengah abad lebih 5 tahun dipanggil-Nya. Saat ini di keluarga tersebut tinggallah seorang ibu dengan dua orang anak perempuannya. Anak pertama sedang beranjak dewasa, anak kedua sedang di tahun terakhir mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Soal maut adalah murni rahasia Ilahi. Tak bisa diprediksi kapan dia datang menghampiri. Tak bisa diminta maju atau mundur waktu kedatangannya. Kapanpun, dimanapun petugasnya bernama Izrail siap menjalankan tugasnya, mencabut nyawa. Maka rahasia besar ini menimbulkan beragam pertanyaan penting dalam menjalani kehidupan.
Ada kematian dan kehidupan yang dicipta-Nya, telah dijelaskan bahwa keduanya diciptakan untuk menguji manusia mana yang paling baik amalnya. Dalam benak saya ada sebuah pertanyaan penting untuk di jawab. Dalam keadaan seperti apakah kelak hidup saya berakhir? Bukan soal dimana dan kapan, namun saya lebih menyoal kondisi terakhir itu seperti apa. Apakah berakhir dengan baik atau sebaliknya.
Every time, every where. Kehidupan di dunia yang sedang kita jalani dapat berakhir. Maka dengan mengingat maut akan datang tanpa bisa diduga ini dapat menjadi salah satu rem dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Bertambahnya umur berarti semakin dekat jarak pada liang kubur. Bertambahnya umur, tentu tak perlu diadakan sebuah perayaan. Dan hari ini kita jumpai banyak hal aneh dianggap wajar berkaitan dengan perayaan bertambahnya umur (saat ini lebih dikenal dengan perayaan ulang tahun).
Sungguh keanehan ini sudah mendapat apresiasi berlebihan di sekitar kita. Bahwa beberapa orang menganggap perayaan bertambahnya umur adalah satu momen special, yang dengannya perlu disambut dengan special juga. Ada yang mengadakan pesta, si korban (orang yang bertambah umur) di siram air dan sebagainya. Bukankah ini sebuah penyimpangan tradisi? Apa makna perayaan semacam itu?
source: My Pict
Siang ini saya jumpai seorang mahasiswa beramai-ramai di kerumuni temannya. Entah dalam hatinya rela atau tidak, namun saya pribadi miris melihat dirinya dimandikan di selokan depan gedung kuliahnya. Jumlah teman yang “ngerjain” dirinya tampak lebih dari 10 orang. Dan sekali lagi buat saya ini menyedihkan. Cobalah bayangkan jika pada saat yang bersamaan mahasiswa yang bertambah umur itu habis jatah hidupnya! Siapa yang mau bertanggung jawab? Secara otomatis aktivitas sia-sia tersebut akan diduga menjadi penyebabnya. Jadi, tradisi semacam ini masih pantaskah terus dilakukan?
Mari bertanya pada diri kita sendiri tentang manfaat dari perayaan bertambahnya umur! Benarkah perayaan semacam itu dapat menjadi jalan kebaikan untuk kehidupan kita selanjutnya? Pantaskah hal buruk ini tumbuh berkembang di sekitar kita?

Rabu, 18 September 2013

Sebuah Protes

Untuk ke sekian kalinya saya temukan lagi spanduk semacam ini. Spanduk iklan tentang sebuah even di klub malam. Saya lihat iklan ini di tempat yang sama seperti dulu pernah saya melihatnya. Di perempatan bulak sumur. Di sebelah barat dan selatannya taka sing adalah gedung milik universitas ternama di negri ini. Seringkali orang menyebutnya Kampus Biru atau Kampus Kerakyatan (tapi tetap lebih nyaman disebut UGM).
source: My Pict
Ribuan anak muda dari berbagai penjuru bumi Indonesia setiap tahunnya memasuki kampus ini. Tak dapat dipungkiri bahwa UGM tetap terpandang di negri ini. Sudah banyak tokoh di negri ini yang dahulu pernah mengenyam pendidikan di UGM. Maka peran kampus ini di kancah pembangunan bangsa dan Negara tidaklah diragukan. Jika tidak berlebihan maka saya ingin menyebut bahwa di kampus ini termasuk tempat pembentukkan kader pemimpin bangsa.
Penerus perjuangan bangsa yang dibina dengan khazanah ilmu, tentu menjadi tonggak harapan bagi jutaan orang yang tidak berkesmpatan mengenyam pendidikan tinggi.  Jangankan mengenyam pendidikan tinggi, untuk dapat merasakan sesuap nasi saja, masih banyak orang di negri ini yang tidak bisa merasakan nikmatnya.  Jadi, julukan “The Agen of Change” bagi mahasiswa itu harus bisa ditampakkan oleh mereka. Satu diantara hal untuk menunjukkannya adalah sikap peduli.
Berkaitan dengan spanduk yang terpajang dalam tulisan ini bertanyalah saya dalam hati (meskipun saya sendiri belum bisa berbuat apa-apa) kemana para aktivis kampus penentang degradasi moral bangsa ini? Jika sudah kesekian kalinya spanduk ini terpasang di kampus kenamaan ini, kenapa tidak ada aksi turun ke jalan memprotes ulah para kapitalis hiburan malam? Bukankah perlawanan terhadap kapitalis hedon ini juga bagian dari perjuangan?
Saya sangat meyakini bahwa setiap harinya ada ribuan orang melintas kea rah timur perempatan ini. Ya, arah dimana spanduk itu terpampang. Ya, arah itu adalah salah satu jalan penghubung ke kampus lain, juga jalan menuju ke perkampungan dimana banyak terdapat kos-kosan. Jika demikian, siapa diharap datang di acara hura-hura pemuja hedonism? Haruskah kita diam? Patutkah kita acuh?
Mari kita jawab!

Jumat, 13 September 2013

Anak-anak (di) Facebook


Betapa saya terhentak siang ini. Zaman sudah terlampau jauh berubah. Ada begitu banyak perkembangan yang seringkali tidak saya ketahui. Kenyeataan ini sungguh menghadirkan beragam tanya. Salah satu pertanyaan sederhana yang saya ajukan adalah: “Kalau sekarang seperti ini, 10-20 tahun lagi seperti apa?”
Pertanyaan ini menjadi bagian dari keresahan saya kala membuka beranda facebook saya. Sebenarnya tak jarang saya merasa resah saat mengamati lika-liku di dunia maya. Hanya saja kali ini sungguh sangat berbeda. Biasanya satu diantara hal yang membuat saya merasa kesal adalah ungkapan “cinta monyet” dari adik-adik yang masih duduk di bangku SMP. (SMP sudah punya facebook? à yang benar saja, 10 tahun yang lalu pengguna email saja masih sangat sedikit seukuran usia SMP)
Yah, tapi inilah kenyataan hari ini. Ia tak bias dipungkiri dan tak akan berubah hanya dengan berdiam diri. Ia semakin keruh saat lebih banyak orang menggerutui dan mencaci maki, ini sama sekali tidak memberikan solusi. Lalu sebaiknya bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?
Source: ictwatch.com
Baiklah, ijinkan saya sampaikan satu keresahan baru saya hari ini (13/09/2013). Di Facebook, saya telah mengkonfirmasi pertemanan dengan beberapa orang yang masih berumur “teenager” (lebih tepat dibaca anak SD). Alasannya sederhana saja, dengan konfirmasi pertemanan ini saya berharap bisa mengetahui perkembangan mereka di dunia maya. Perkembangan anak-anak ini menurut saya menarik untuk diketahui, sebab toh jika berumur panjang kelak juga saya akan menjadi orangtua, insyaAlloh. Mempelajari perkembangan anak, sekaligus mengasah kepekaan kita terhadap dunia anak beserta dinamikanya. Sehingga sedikit banyak ini akan menjadi modal kelak ketika hidup berumah tangga.
Salah seorang “teenager” (selanjutnya dibaca Anak SD), siang ini saya temukan update status soal cinta-cintaan. Dan buat saya ini sungguh sangat mengkahwatirkan. 12 tahun yang lalu, teenager kebanyakan mengungkapkan cinta monyetnya sangat halus dan rahasia. Setau saya sih, baru sekedar merasa tersipu malu (ini seolah menjadi dasar teman-temannya untuk membuktikan ada rasa suka antara si A dan si B) saat “dipacokake” (semacam dijodoh-jodohkan).
Kenyataannya sekarang jauh berbeda. Facebook, bagi anak-anak itu kok ada oknum yang menjadikannya tempat curhat tentang cinta. Meski hanya sebaris kata. Kalau menjadi terbiasa dan rutin, apa jadinya? Mari kita lakukan sebuah upaya solutif untuk menyikapi fenomena ini. Mereka adalah aset bangsa. Saat mereka dewasa, mereka pun akan tampil secara langsung maupun tidak langsung di hadapan anak-anak kita. Patutkah sekarang kita hanya berdiam diri saja kepada adik-adik kita?