Dua hari yang lalu, duka berselimut di sebuah rumah yang tak
jauh dari tempat saya tinggal. Seorang bapak berumur setengah abad lebih 5
tahun dipanggil-Nya. Saat ini di keluarga tersebut tinggallah seorang ibu
dengan dua orang anak perempuannya. Anak pertama sedang beranjak dewasa, anak
kedua sedang di tahun terakhir mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Soal maut adalah murni rahasia Ilahi. Tak bisa diprediksi
kapan dia datang menghampiri. Tak bisa diminta maju atau mundur waktu
kedatangannya. Kapanpun, dimanapun petugasnya bernama Izrail siap menjalankan
tugasnya, mencabut nyawa. Maka rahasia besar ini menimbulkan beragam pertanyaan
penting dalam menjalani kehidupan.
Ada kematian dan kehidupan yang dicipta-Nya, telah
dijelaskan bahwa keduanya diciptakan untuk menguji manusia mana yang paling
baik amalnya. Dalam benak saya ada sebuah pertanyaan penting untuk di jawab. Dalam
keadaan seperti apakah kelak hidup saya berakhir? Bukan soal dimana dan kapan,
namun saya lebih menyoal kondisi terakhir itu seperti apa. Apakah berakhir
dengan baik atau sebaliknya.
Every time, every where. Kehidupan di dunia yang sedang kita
jalani dapat berakhir. Maka dengan mengingat maut akan datang tanpa bisa diduga
ini dapat menjadi salah satu rem dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Bertambahnya
umur berarti semakin dekat jarak pada liang kubur. Bertambahnya umur, tentu tak
perlu diadakan sebuah perayaan. Dan hari ini kita jumpai banyak hal aneh
dianggap wajar berkaitan dengan perayaan bertambahnya umur (saat ini lebih
dikenal dengan perayaan ulang tahun).
Sungguh keanehan ini sudah mendapat apresiasi berlebihan di
sekitar kita. Bahwa beberapa orang menganggap perayaan bertambahnya umur adalah
satu momen special, yang dengannya perlu disambut dengan special juga. Ada yang
mengadakan pesta, si korban (orang yang bertambah umur) di siram air dan
sebagainya. Bukankah ini sebuah penyimpangan tradisi? Apa makna perayaan
semacam itu?
source: My Pict |
Siang ini saya jumpai seorang mahasiswa beramai-ramai di
kerumuni temannya. Entah dalam hatinya rela atau tidak, namun saya pribadi
miris melihat dirinya dimandikan di selokan depan gedung kuliahnya. Jumlah teman
yang “ngerjain” dirinya tampak lebih dari 10 orang. Dan sekali lagi buat saya
ini menyedihkan. Cobalah bayangkan jika pada saat yang bersamaan mahasiswa yang
bertambah umur itu habis jatah hidupnya! Siapa yang mau bertanggung jawab? Secara
otomatis aktivitas sia-sia tersebut akan diduga menjadi penyebabnya. Jadi,
tradisi semacam ini masih pantaskah terus dilakukan?
Mari bertanya pada diri kita sendiri tentang manfaat dari
perayaan bertambahnya umur! Benarkah perayaan semacam itu dapat menjadi jalan
kebaikan untuk kehidupan kita selanjutnya? Pantaskah hal buruk ini tumbuh
berkembang di sekitar kita?