Pagi ini mulai lagi saya membaca data Sensus penduduk 2010. Berdasarkan
data tersebut tampak jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun. Jumlahnya lebih
dari 41 juta jiwa (41.202.076). Luar biasa, jumlah tersebut adalah 15,19% dari
jumlah total penduduk Indonesia. Dan jumlah pemuda muslim diantara jumlah
tersebut adalah lebih dari 36 juta jiwa. Yah, pada dua kesempatan saya menuliskan
tentang data penduduk ini, saya ingin terlebih dahulu menyorot soal jumlah pemuda
Islam. Berawal dari jumlah kemudian baru berpikir tentang apa yang selanjutnya
bisa diperbuat. Berawal dari jumlah tersebut akan tampak besarnya potensi
pemuda Islam di negri kita.
Data sensus membawa saya untuk berpikir tentang berapa
banyak jumlah sarjana muslim. Dari data itu saya dapatkan perkiraan
persentasenya (jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun)
sebesar 4,56%. Atau secara jumlah diperkirakan sekitar 1,6 juta jiwa. Yah,
ternyata lebih dari 95% pemuda muslim kita (20-29 tahun) belum atau bahkan
tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di tingkat S1. Sedangkan mereka yang
telah mendapat kesempatan tersebut ada pertanyaan yang saya ingin tahu
jawabnya. Seberapa banyak sarjana muslim yang punya kepedulian atas nasib
sesamanya?
Hari ini masih dapat kita temukan betapa diantara sarjana
muslim tersbut masih banyak berkeluh kesah tentang nasibnya (boleh jadi saya
termasuk satu diantaranya). Berkeluh tentang hari-hari yang besok akan
dijalani. Berkeluh tentang profesi. Berkeluh tentang hal-hal lain yang hanya
mungkin terjadi. Dan betapa sulit kita dapati mereka (sarjana muslim) yang
telah tahu bagaimana menyiapkan kehidupan yang sudah pasti. Kepada-Nya kita
akan kembali. Ungkapan itu semoga bukan terucap saat keputus asaan datang
mendekat. Bahwa sarjana punya cara pandang berbeda. Terlebih sarjana muslim.
Sambil menuliskan tulisan ini saya pun harus banyak
merenungkan. Tentang berbagai hal yang belum terjadi esok hari. Tentang kenyataan
yang hari ini, saya juga anda yang masing-masing kita hadapi. Kadang kita
bertemu pada satu titik manusiawi, yang sama-sama ingin kita penuhi. Namun sisi
lain pada pikiran saya juga membisik tak teratur bahwa tanggung jawab terhadap
umat harus terus melekat. Jangan egois. Jangan salahkan mereka yang apatis. Jangan
pula pesimis. Bersama pekat malam, masih ada lilin-lilin kecil menyala. Para sarjana
muslim harus mampu memberikan kontribusi nyata, bagi umat yang tak berkesempatan
seperti dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar