Senin, 16 Desember 2013

Gelora Muda (2)

Pagi ini mulai lagi saya membaca data Sensus penduduk 2010. Berdasarkan data tersebut tampak jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun. Jumlahnya lebih dari 41 juta jiwa (41.202.076). Luar biasa, jumlah tersebut adalah 15,19% dari jumlah total penduduk Indonesia. Dan jumlah pemuda muslim diantara jumlah tersebut adalah lebih dari 36 juta jiwa. Yah, pada dua kesempatan saya menuliskan tentang data penduduk ini, saya ingin terlebih dahulu menyorot soal jumlah pemuda Islam. Berawal dari jumlah kemudian baru berpikir tentang apa yang selanjutnya bisa diperbuat. Berawal dari jumlah tersebut akan tampak besarnya potensi pemuda Islam di negri kita.
Data sensus membawa saya untuk berpikir tentang berapa banyak jumlah sarjana muslim. Dari data itu saya dapatkan perkiraan persentasenya (jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang berumur 20-29 tahun) sebesar 4,56%. Atau secara jumlah diperkirakan sekitar 1,6 juta jiwa. Yah, ternyata lebih dari 95% pemuda muslim kita (20-29 tahun) belum atau bahkan tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di tingkat S1. Sedangkan mereka yang telah mendapat kesempatan tersebut ada pertanyaan yang saya ingin tahu jawabnya. Seberapa banyak sarjana muslim yang punya kepedulian atas nasib sesamanya?
Hari ini masih dapat kita temukan betapa diantara sarjana muslim tersbut masih banyak berkeluh kesah tentang nasibnya (boleh jadi saya termasuk satu diantaranya). Berkeluh tentang hari-hari yang besok akan dijalani. Berkeluh tentang profesi. Berkeluh tentang hal-hal lain yang hanya mungkin terjadi. Dan betapa sulit kita dapati mereka (sarjana muslim) yang telah tahu bagaimana menyiapkan kehidupan yang sudah pasti. Kepada-Nya kita akan kembali. Ungkapan itu semoga bukan terucap saat keputus asaan datang mendekat. Bahwa sarjana punya cara pandang berbeda. Terlebih sarjana muslim.

Sambil menuliskan tulisan ini saya pun harus banyak merenungkan. Tentang berbagai hal yang belum terjadi esok hari. Tentang kenyataan yang hari ini, saya juga anda yang masing-masing kita hadapi. Kadang kita bertemu pada satu titik manusiawi, yang sama-sama ingin kita penuhi. Namun sisi lain pada pikiran saya juga membisik tak teratur bahwa tanggung jawab terhadap umat harus terus melekat. Jangan egois. Jangan salahkan mereka yang apatis. Jangan pula pesimis. Bersama pekat malam, masih ada lilin-lilin kecil menyala. Para sarjana muslim harus mampu memberikan kontribusi nyata, bagi umat yang tak berkesempatan seperti dirinya.      

Tidak ada komentar: