Tampilkan postingan dengan label berbagi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berbagi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 September 2014

Empat Tahun Pasca Putih Abu-Abu

 Kuposting kembali, tulisan dari catatan Facebook, 3 tahun yang lalu.

Source: Mypict

Beberapa saat di hari ini kembali kurasakan suatu hal yang dulu pernah terjadi dan kini terulang lagi. Gundah bukanlah suatu hal yang indah, tapi ia muncul dari jiwa yang resah, meski kadang pada raut wajah tak ada tanda sedang gelisah. Sahabatku semua, sedikit tulisan ini kusampaikan kepadamu bahwa semoga hal ini tidak juga kalian alami. Semoga ini hanya sejenak lewat yang esok kan berganti,  tak hanya menjadi semangat yang berapi-api namun sebuah langkah pasti untuk mewujudkan mimpi.

Kalian dan aku telah lama berjalan bersama dalam sebuah medan laga. Dan secara pribadi diriku dengan segala keterbatasan ini telah banyak mendapat pelajaran dan hikmah dari kalian semua. Bagiku kalian adalah kumpulan sosok manusia yang turut menggoreskan tinta pada lembaran hidupku.  Hingga saat ini jika kuputar kembali memori di masa putih abu-abu, ada banyak hal yang membuatku malu, namun ada pula yang membuatku terharu.

Tujuh tahun yang lalu kita bersama menuntut ilmu. Di satu sekolah yang berada tepat di sebelah timur lapangan Karangwaru. Dan tentu kita masih ingat bahwa ada satu wadah yang membuat kita banyak belajar bukan dari masalah akademis. Yah, dari Rohis! Kita dilatih untuk selalu bergerak dinamis dan melangkah dengan optimis. Meski ada yang menyebut seolah tampak seperti ekstrimis tapi opini seperti itu dapat kita tepis. Karna senyuman manis sering kita sampaikan kepada teman kita, guru, dan seluruh lingkungan sekolah kita. Ini adalah sebuah realita.

Dari sejarah di masa lalu kiranya tak pantas jika hanya kita simpan dalam kenangan. Ia menjadi sesuatu yang tak berarti jika hanya disimpan dalam hati. Ia akan menjadi narasi yang abadi ketika ia diwarisi oleh setiap generasi. Generasi Robbani yang berjalan dengan wahyu Ilahi, penerus perjuangan para nabi.
Saat berada pada masa pertengahan, saat itu pula banyak hal besar yang telah kita kerjakan. Tak terbatas pada satu entitas tapi kita bekerja melayani satu komunitas yang luas. Dan dari berbagi macam hal yang telah kita kerjakan di sana ada banya proses yang mendewasakan. Perlahan sifat kekanak-kanakan mulai kita tinggalkan, besarnya ego kita singkirkan, beragam perbedaan kita rangkum dalam sebuah kebersamaan. Begitu indah bukan?

Saat tiba di penghujung masa belajar, masih juga kita menjadi sosok yang berbeda. Pekerjaan besar yang telah diwariskan, tidak begitu saja ditinggalkan. Kita tetap berjuang dengan cara yang berbeda dan berusaha melangkah sekuat tenaga. Pada akhirnya sampai digaris finish, kita dapat tersenyum lega bahwa semua berkahir dengan manis. Semua berucap syukur, dan satu yang kuingat saat seorang teman kita, yang saat itu adalah mantan panglima kembali melantunkan gema perjuangan yang telah terpatri dalam hati:
  “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Demikian sahabatku sedikit hal yang ingin kubagikan kepadamu. Semoga semua itu tidak hanya menjadi kenangan indah di masa lalu. Dan semoga perjuangan itu takkan beku seiring bejalanya waktu. Tidak begitu saja terputus, hingga nafas berhenti berhembus.


21 Sya’ban 1432H/23 Juli 2011

Kamis, 18 September 2014

Belajar dari Ibu #1

Source: http://islamic-style.al-habib.info
Sempatkanlah waktu meski sejenak untuk berbincang dengannya. Akankah kita lupa begitu saja pada masa dimana segenap panca indera ini belum sempurna bekerja. Ia mengajak kita berbicara dengan bahasa cinta. Bahasa cinta yang tak sekedar terucap lewat kata. Bahasa itu terasa begitu nyata. Ketulusan, kelembutan dan kasih sayang pada setiap anaknya. Itulah diantara bentuk cinta dari sosok yang akrab kita sapa sebagai Ibu.
Sebagai seorang anak secara pribadi saya yakin tidak hanyan satu dua kali berlaku salah kepadanya. Tapi betapa luar biasanya seorang ibu, ia begitu jarang meluapkan amarahnya. Sejauh ini saya rasakan bahwa ketika ia terlihat marah ternyata lebih kuat saya duga bahwa itu sebentuk luapan emosi. Bahkan ia bisa begitu saja lenyap tanpa menunggu hitungan hari. Dari hal ini saya yang bodoh ini belajar tentang bentuk nyata tentang mudahnya memberi maaf, dari seorang ibu.
Tulisan ini ingin saya jadikan sebagai awalan untuk berbagi tentang kesan saya terhadap pendidikan dari seorang ibu. Sebuah pengajaran yang bagi saya tak perlu banyak diucap lewat kata. Pelajaran nyata di depan mata. 
Tiada mampu dirasa setiap manusia melukiskan berjuta kasih dan sayangmu. Lakumu yang tak mungkin tertulis runtut dalam catatan anakmu. Namun Tuhanku dan Tuhanmu, Tuhan semesta alam tiada luput bahkan sebesar debu, tuk semua kesungguhan dan pengorbananmu. #ibu

Kamis, 04 September 2014

Menimbang Keputusan

source: exploringthemind.com
Sekitar 2 bulanan ini ku rasakan betapa diriku masih terlampau bodoh akan berbagai macam hal. Diantara kebodohan tersebut adalah mengenai sejauh apa aku berusaha cermat dalam mengambil keputusan. Terasa benar bahwa dua sisi itu belum sepenuhnya berpadu dengan kontrol nilai yang benar. Yakni soal pertimbangan rasional dan emosional.
Pertama soal rasional. Adalah pertimbangan logis yang selama ini kupakai dalam mengambil sebuah keputusan. Tentu saja logikaku jelas penuh dengan keterbatasan. Tentu saja kenyataan hidup ini tak selalu mampu dijangkau dengan logika. Sebab di luar hal yang pernah kujumpai tentu ada berbagai kenyataan yang tak logis dalam kehidupan.
Kedua soal emosiona. Inilah diantara hal yang begitu dinamis. geraknya tak menentu. Maka pada wilayah ini terkadang membuatku tertutup atas obyektfitas berpikir. Wilayah emosional ini sungguh perlu diwaspadai. Sebab terasa benar bahwa pernah kuambil satu keputusan karena faktor emosional, kemudian mengundang sesal. 
Selanjutnya perlahan ku mencoba sedikit demi sedikit menata arah dalam menentukan keputusan. Bahwa setiap keputusan yang diambil itu memiliki resiko, maka kesiapan dalam menerima resiko itu jelas sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itulah aku harus banyak belajar tentang "How to make a decision." Dibalik keputusan yang akan diambil selipkanlah tanya "Apakah keputusan ini akan mendatangkan ridho dari Tuhanku?"

Rabu, 04 Desember 2013

Gelora Muda (1)

Masih teringat benar dalam benak kita betapa heroik kisah perjuangan pemuda di zaman menjelang kemerdekaan. Dan tentu kita masih ingat betapa lantang Bung Karno berucap “Berikan aku sepuluh pemuda akan aku guncangkan dunia.” Derap langkah para pemuda patahkan segala keputus asaan yang menghadang di tengah jalan. Dahulu segala kekuatan berhimpun menjadi satu saat di hadapan kita tampak jelas penjajahan itu menindas hak hidup segenap warga bangsa ini. Namun sekarang adakah semangat itu masih melekat di hati 35 juta lebih para pemuda islam (berumur 15-24 tahun)?
Sekali lagi kita yakini bahwa bangsa ini masih memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, persentase jumlah pemuda Islam terhadap jumlah penduduk total di Indonesia sebesar 14,90% (dengan jumlahnya sebesar 35.403.681 jiwa). Angka ini mendekati seperlima jumlah penduduk di bangsa ini. Pada link ini dapat kita lihat bahwa jumlah tersebut masih lebih besar dari pada total jumlah penduduk di Negara Kanada, Sudan, Maroko, Iraq, Afganistan yang jumlahnya berkisar antara 30-30,5 juta jiwa. Maka sungguh betapa besar aset bangsa ini. Sehingga patutkah ia dibiarkan begitu saja?
Pada akhir Juli 2013, sebagaimana dilansir oleh inilah.com jumlah masjid di Indonesia sebanyak 239.497 bangunan. Maka perbandingan jumlah masjid dengan jumlah pemuda Islam (15-24 tahun) di Indonesia sebesar 1:148. Artinya secara rata-rata 1 masjid menampung hampir 150 pemuda Islam. bukankah ini potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembangnya pemuda Islam yang memakmurkan masjid? Lalu faktanya bagaimana? Berapakah jumlah masjid yang memiliki organisasi remaja/pemuda masjid? Berapa rata-rata jumlah personil aktifnya? Berapa pula yang sungguh-sungguh aktif dalam memakmurkan masjidnya?

source: bbc.co.uk
Ah rasanya masih ada banyak pertanyaan yang ingin saya sampaikan. Namun tidak baik juga kiranya saya khususnya terlalu banyak beretorika. Hari ini dan selanjutnya ungkapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ditunggu-tunggu kiprahnya bagi umat Islam di seluruh dunia, bukanlah isapan jempol belaka. Masalahnya layakkah diri ini untuk bergabung dalam barisan gelombang kebangkitan itu? Mari kita jawab!

Kamis, 26 September 2013

Apa Makna Umur Bertambah?

Dua hari yang lalu, duka berselimut di sebuah rumah yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Seorang bapak berumur setengah abad lebih 5 tahun dipanggil-Nya. Saat ini di keluarga tersebut tinggallah seorang ibu dengan dua orang anak perempuannya. Anak pertama sedang beranjak dewasa, anak kedua sedang di tahun terakhir mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Soal maut adalah murni rahasia Ilahi. Tak bisa diprediksi kapan dia datang menghampiri. Tak bisa diminta maju atau mundur waktu kedatangannya. Kapanpun, dimanapun petugasnya bernama Izrail siap menjalankan tugasnya, mencabut nyawa. Maka rahasia besar ini menimbulkan beragam pertanyaan penting dalam menjalani kehidupan.
Ada kematian dan kehidupan yang dicipta-Nya, telah dijelaskan bahwa keduanya diciptakan untuk menguji manusia mana yang paling baik amalnya. Dalam benak saya ada sebuah pertanyaan penting untuk di jawab. Dalam keadaan seperti apakah kelak hidup saya berakhir? Bukan soal dimana dan kapan, namun saya lebih menyoal kondisi terakhir itu seperti apa. Apakah berakhir dengan baik atau sebaliknya.
Every time, every where. Kehidupan di dunia yang sedang kita jalani dapat berakhir. Maka dengan mengingat maut akan datang tanpa bisa diduga ini dapat menjadi salah satu rem dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Bertambahnya umur berarti semakin dekat jarak pada liang kubur. Bertambahnya umur, tentu tak perlu diadakan sebuah perayaan. Dan hari ini kita jumpai banyak hal aneh dianggap wajar berkaitan dengan perayaan bertambahnya umur (saat ini lebih dikenal dengan perayaan ulang tahun).
Sungguh keanehan ini sudah mendapat apresiasi berlebihan di sekitar kita. Bahwa beberapa orang menganggap perayaan bertambahnya umur adalah satu momen special, yang dengannya perlu disambut dengan special juga. Ada yang mengadakan pesta, si korban (orang yang bertambah umur) di siram air dan sebagainya. Bukankah ini sebuah penyimpangan tradisi? Apa makna perayaan semacam itu?
source: My Pict
Siang ini saya jumpai seorang mahasiswa beramai-ramai di kerumuni temannya. Entah dalam hatinya rela atau tidak, namun saya pribadi miris melihat dirinya dimandikan di selokan depan gedung kuliahnya. Jumlah teman yang “ngerjain” dirinya tampak lebih dari 10 orang. Dan sekali lagi buat saya ini menyedihkan. Cobalah bayangkan jika pada saat yang bersamaan mahasiswa yang bertambah umur itu habis jatah hidupnya! Siapa yang mau bertanggung jawab? Secara otomatis aktivitas sia-sia tersebut akan diduga menjadi penyebabnya. Jadi, tradisi semacam ini masih pantaskah terus dilakukan?
Mari bertanya pada diri kita sendiri tentang manfaat dari perayaan bertambahnya umur! Benarkah perayaan semacam itu dapat menjadi jalan kebaikan untuk kehidupan kita selanjutnya? Pantaskah hal buruk ini tumbuh berkembang di sekitar kita?

Rabu, 18 September 2013

Sebuah Protes

Untuk ke sekian kalinya saya temukan lagi spanduk semacam ini. Spanduk iklan tentang sebuah even di klub malam. Saya lihat iklan ini di tempat yang sama seperti dulu pernah saya melihatnya. Di perempatan bulak sumur. Di sebelah barat dan selatannya taka sing adalah gedung milik universitas ternama di negri ini. Seringkali orang menyebutnya Kampus Biru atau Kampus Kerakyatan (tapi tetap lebih nyaman disebut UGM).
source: My Pict
Ribuan anak muda dari berbagai penjuru bumi Indonesia setiap tahunnya memasuki kampus ini. Tak dapat dipungkiri bahwa UGM tetap terpandang di negri ini. Sudah banyak tokoh di negri ini yang dahulu pernah mengenyam pendidikan di UGM. Maka peran kampus ini di kancah pembangunan bangsa dan Negara tidaklah diragukan. Jika tidak berlebihan maka saya ingin menyebut bahwa di kampus ini termasuk tempat pembentukkan kader pemimpin bangsa.
Penerus perjuangan bangsa yang dibina dengan khazanah ilmu, tentu menjadi tonggak harapan bagi jutaan orang yang tidak berkesmpatan mengenyam pendidikan tinggi.  Jangankan mengenyam pendidikan tinggi, untuk dapat merasakan sesuap nasi saja, masih banyak orang di negri ini yang tidak bisa merasakan nikmatnya.  Jadi, julukan “The Agen of Change” bagi mahasiswa itu harus bisa ditampakkan oleh mereka. Satu diantara hal untuk menunjukkannya adalah sikap peduli.
Berkaitan dengan spanduk yang terpajang dalam tulisan ini bertanyalah saya dalam hati (meskipun saya sendiri belum bisa berbuat apa-apa) kemana para aktivis kampus penentang degradasi moral bangsa ini? Jika sudah kesekian kalinya spanduk ini terpasang di kampus kenamaan ini, kenapa tidak ada aksi turun ke jalan memprotes ulah para kapitalis hiburan malam? Bukankah perlawanan terhadap kapitalis hedon ini juga bagian dari perjuangan?
Saya sangat meyakini bahwa setiap harinya ada ribuan orang melintas kea rah timur perempatan ini. Ya, arah dimana spanduk itu terpampang. Ya, arah itu adalah salah satu jalan penghubung ke kampus lain, juga jalan menuju ke perkampungan dimana banyak terdapat kos-kosan. Jika demikian, siapa diharap datang di acara hura-hura pemuja hedonism? Haruskah kita diam? Patutkah kita acuh?
Mari kita jawab!

Jumat, 13 September 2013

Anak-anak (di) Facebook


Betapa saya terhentak siang ini. Zaman sudah terlampau jauh berubah. Ada begitu banyak perkembangan yang seringkali tidak saya ketahui. Kenyeataan ini sungguh menghadirkan beragam tanya. Salah satu pertanyaan sederhana yang saya ajukan adalah: “Kalau sekarang seperti ini, 10-20 tahun lagi seperti apa?”
Pertanyaan ini menjadi bagian dari keresahan saya kala membuka beranda facebook saya. Sebenarnya tak jarang saya merasa resah saat mengamati lika-liku di dunia maya. Hanya saja kali ini sungguh sangat berbeda. Biasanya satu diantara hal yang membuat saya merasa kesal adalah ungkapan “cinta monyet” dari adik-adik yang masih duduk di bangku SMP. (SMP sudah punya facebook? à yang benar saja, 10 tahun yang lalu pengguna email saja masih sangat sedikit seukuran usia SMP)
Yah, tapi inilah kenyataan hari ini. Ia tak bias dipungkiri dan tak akan berubah hanya dengan berdiam diri. Ia semakin keruh saat lebih banyak orang menggerutui dan mencaci maki, ini sama sekali tidak memberikan solusi. Lalu sebaiknya bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?
Source: ictwatch.com
Baiklah, ijinkan saya sampaikan satu keresahan baru saya hari ini (13/09/2013). Di Facebook, saya telah mengkonfirmasi pertemanan dengan beberapa orang yang masih berumur “teenager” (lebih tepat dibaca anak SD). Alasannya sederhana saja, dengan konfirmasi pertemanan ini saya berharap bisa mengetahui perkembangan mereka di dunia maya. Perkembangan anak-anak ini menurut saya menarik untuk diketahui, sebab toh jika berumur panjang kelak juga saya akan menjadi orangtua, insyaAlloh. Mempelajari perkembangan anak, sekaligus mengasah kepekaan kita terhadap dunia anak beserta dinamikanya. Sehingga sedikit banyak ini akan menjadi modal kelak ketika hidup berumah tangga.
Salah seorang “teenager” (selanjutnya dibaca Anak SD), siang ini saya temukan update status soal cinta-cintaan. Dan buat saya ini sungguh sangat mengkahwatirkan. 12 tahun yang lalu, teenager kebanyakan mengungkapkan cinta monyetnya sangat halus dan rahasia. Setau saya sih, baru sekedar merasa tersipu malu (ini seolah menjadi dasar teman-temannya untuk membuktikan ada rasa suka antara si A dan si B) saat “dipacokake” (semacam dijodoh-jodohkan).
Kenyataannya sekarang jauh berbeda. Facebook, bagi anak-anak itu kok ada oknum yang menjadikannya tempat curhat tentang cinta. Meski hanya sebaris kata. Kalau menjadi terbiasa dan rutin, apa jadinya? Mari kita lakukan sebuah upaya solutif untuk menyikapi fenomena ini. Mereka adalah aset bangsa. Saat mereka dewasa, mereka pun akan tampil secara langsung maupun tidak langsung di hadapan anak-anak kita. Patutkah sekarang kita hanya berdiam diri saja kepada adik-adik kita?

Kamis, 12 September 2013

Bulan Oemar Bakri

source: Wikipedia
Bulan ini akan dapat kita jumpai sebuah kompetisi di berbagai instansi negri. Begitu banyak instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang membuka kesempatan bagi putra-putri bangsa untuk bekerja di sana. Penawaran ini tentu menjadi angin segar bagi sebagian orang yang ingin bekerja pada instansi pemerintah (baca: jadi PNS).
Perbincangan mengenai seleksi CPNS bulan-bulan ini menjadi salah satu menu utama bagi mereka yang berminat mengikutinya. Beragam persiapan tentu harus dilakukan agar pantas menjadi peserta yang dinyatakan lolos seleksi. Jumlah peserta seleksi CPNS tahun ini diperkirakan mencapai 1,3 juta
Fenomena ini bagitu menarik. Pada Tahun 2012 OECD (Organisation for Economic Co-operation Development), menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi Negara yang memiliki jumlah sarjana muda terbesar kelima di dunia. Diperkirakan hal ini akan terjadi selambatnya pada Tahun 2020. (baca di merdeka.com)
Prediksi keluaran OECD itu menjadi salah satu tantangan pembangunan yang harus di jawab. Menurut saya pertanyaan ini penting untuk dijwab "Apa kontribusi bagi bangsa dan negara dibalik meningkatnya jumlah sarjana?" Secara khusus pertanyaan ini seringkali terngiang dalam benak saya. Setelah mendekati 2 tahun lulus dari bangku kuliah, pertanyaan itu belum juga terjawab.
Banyaknya kesempatan untuk bekerja pada instansi pemerintah ini menjadi salah satu pilihan untuk saya jalani. Ada sebongkah harapan yang ingin saya wujudkan. Bahwa jika saya ditakdirkan diterima di salah satu instansi negera ini, saya ingin berkontribusi untuk membangun negri. 
Dunia kerja memberikan tantangan besar bagi saya untuk menerapkan idealisme yang telah saya bangun bersama teman-teman semasa sekolah dan kuliah. Dahulu kami belajar tentang integritas mungkin masih sebatas pengetahuan yang dibumbui dengan sekelumit pengamalan. Dahulu kami belajar tentang loyalitas pada prisip dan nilai-nilai perjuangan, maka di dunia kerja kesetiaan itu akan diuji dengan berbagai benturan terhadap keduanya.

Senin, 22 Juli 2013

Mimbar Masjid

putrakurniaillahi.indonetwork.co.id
Sampai hari ini nyaris saya tak pernah benar-benar menyimak kuliah subuh di masjid. Bukan berarti saya sama sekali tak datang ke masjid untuk sholat subuh berjama’ah. Bukan. Namun matsaya selalu saja terkantuk-kantuk saat lepas sholat subuh. Hingga hanya sedikit saja dari 7-10 menit isi kultum yang dapat disimak dengan baik.
Romadhon telah memasuki pertengahan bulan. Ini berarti tak lama lagi bulan yang selalu dirindukan kehadirannya akan segera usai. Dan keberadaan kultum pasca sholat subuh dan sholat isya, memang diharapkan dapat memberikan asupan gizi ruhani yang berarti bagi para jama’ah. Sehingga setelah usai Bulan Romadhon kapasitas keilmuan serta kualitas dan kuantitas amal dari para jam’ah semakin bertambah.
Sesekali saya coba menyimak beberapa hal yang disampaikan. Entah mengapa tak sedikit dari penyampaian para penceramah itu masih perlu dikemas lebih menarik lagi, dan juga tentu menimbang bobot materi yang tepat. Berkaitan dengan materi yang disampaikan, masih ada catatan penting yang menjadi perhatian saya. Yakni beberapa orang penceramah masih belum begitu memperhatikan soal penggunaan dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan pernah saya temukan ada yang menyampaikan seruan bercampur dengan keluhan pribadi tentang kondisi masjid (maaf ini pendapat subyektif saya).

Kenyataan semacam ini semestinya perlu menjadi perhatian bagi kita selaku umat Islam. Bahwa hari ini kebutuhan akan da’i sangatlah mendesak. Yakni para dai yang memiliki kualitas keilmuan dan amal yang baik. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Sebab jika kultum itu tidak disampaikan dengan penuh nilai keilmuan, maka mengharap bertambahnya pemahaman agama para jama’ah tak ayal seperti menegakkan benang basah.   

Senin, 15 Juli 2013

Tangisan yang Hilang

Tak jarang dalam perjalanan aku sesat larut dalam sebuah perenungan. Mungkin karena hanya sesaat ia tak begitu melekat. Mudah lenyap hilang tak berbekas. Dalam perenungan singkat itu pula tak jarang ada butiran air jatuh dari pelupuk mataku. Entah mengapa, kurasakan bahwa setiap perjalanan adalah salah satu waktu yang berharga untuk menyemai makna dibalik peristiwa.
Melihat fenomena jalanan menghadirkan kesan tersendiri buatku. Cara ini sedang kuusahakan menjadi bagian penting dalam prosesku untuk berpikir jernih. Merenungi setiap perjalanan dan mencoba mengais makna yang terkandung di dalamnya. Perenungan ini semoga menjadi sarana introspeksi agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
 Namun akhir-akhir ini betapa berbedanya. Di perjalanan aku mulai jarang merenungi suatu hal. Biasanya ketika bersepeda motor aku berpikir suatu hal kemudian sejenak kurenungkan. Tapi akhir-akhir ini sungguh berbeda. Apa karena lelahnya badan? Ah, kurasa bukan.
Melalui tulisan inilah kesadaran akan hilangnya perenungan di perejalanan itu terasa. Di samping itu ada satu hal yang benar-benar terasa hilang pada diriku, yakni air mataku yang mengering pada setiap kesalahanku. Ketika aku tau bahwa diriku bersalah, ia hanya menjadi sekedar pemberitahuan saja. Belum terasa kesadaran untuk berbenah. Ingin berubah namun usaha masih payah.

souce: eramuslim.com
Di bulan Ramadhan ini kurindukan air mata mengalir di wajahku. Air mata yang dengannya aku berharap dapat menghapus dosa-dosa yang jumlahnya tak terkira. Air mata sebagai penggugah jiwa yang alpa. Air mata para hamba yang merindukan surga dan takut akan neraka. Air mata insan lemah tak berdaya tanpa pertolongan Tuhannya. Tangis yang hilang mari kembali pulang. Tak jemu kutunggu dirimu datang.  

Ideku Mampet?

source: sindotrijaya.com
Kemandegan dalam menuliskan suatu hal bukan barang baru lagi buatku. Saat kutuliskan satu ide baru tiba-tiba ia terhenti begitu saja. Atau di lain kesempatan aku bersemangat menulis suatu ide yang menurutku menarik. Namun sayang beribu sayang, baru jadi satu paragraph pendek ia terhenti. Awalnya dengan maksud istirahat sebentar, eh tak taunya terlupakan. Tak lagi disentuh. Saat membacanya lagi ide itu menjadi basi atau tak ada lagi keinginan melanjutkannya.
Harus kuakui bahwa menulis awalnya adalah proses yang membosankan buatku. Dahulu kegiatan menulis buatku hanya sebatas kegiatan formal di bangku sekolah. Ia hanya berupa catatan pelajaran yang diterangkan oleh para guru. Tak lebih dari itu.
Seiring berjalannya waktu perlahan cara pandangku mulai bergeser. Puncak pergeseran itu terasa betul ketika masa akhir belajar di Perguruan Tinggi. Ada syarat wajib harus dilengkapi untuk menuntaskan masa studi. Menulis skripsi. Aku yang tak begitu akrab dengan dunia baca tulis harus berjuang untuk menjalani prose itu. Maka demi kelancaran proses pengerjaan skripsi itulah aku harus mulai membiasakan diri menulis. Entah apapun temanya yang penting aku belajar menulis.
Sampai saat ini aku masih belum benar-benar mampu untuk memberikan alasan yang kuat mengapa aku menulis. Beberapa kali menyimak perbincangan tentang kepenulisan kupahami bahwa sebenarnya menulis bukan soal tekniknya saja. Bukan soal banyak sedikitnya tulisan yang dihasilkan. Bukan itu! Ada hal besar harus diutamakan. Niat menulis. Ia menjadi hal terpenting yang harus diperhatikan. Ketika niat sudah benar maka hal-hal teknis lainnya akan dapat diatasi.
Ketika niat telah kita benahi maka tinggallah kita mencoba merangkai setiap inspirasi. Kadang inspirasi ini menjadi alasan untuk menutupi bahwa diri kita masih sangat terpengaruh mood. Begitu juga diriku, kemalasan itu kadang kututupi dengan alasan tak ada inspirasi. Tak ada inspirasi maka tak ada tulisan yang bisa dihasilkan ideku mampet. Tak bisa mengalir.
Sebuah pelajaran menarik kudapatkan dari buku berjudul “Dunia Kata.” Buku ini sarat akan makna. Di dalamnya kutemukan banyak pesan berharga dalam kaitannya dengan dunia tulis-menulis.  Untuk menjadikan jiwa lebih inspiratif, menurut ustadz Fauzil Adhim (penulis bukunya) adalah dengan mencapai suatu kondisi yang disebut flow. Kondisi ini dapat dicapai ketika ada keterlibatan psikologis yang sangat kuat. Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan. (Dunia Kata : 78)

Perlahan aku mencoba untuk memahami makna dari flow itu sendiri. Dalam memahami flow kudapatkan satu kata kunci yakni keterlibatan secara psikologis. Menuliskan suatu hal akan terasa mudah dan mengalir ketika jiwa kita terlibat penuh di dalamnya. Kita memahami sebuah permasalahan penting untuk dituliskan, kemudian sepenuh kesadaran jiwa kita tergerak secara fokus untuk dapat menuliskan permasalahan itu.